ada bau garam dan amis
dan kita serta merta berpacu mengejarnya
bau tiang-tiang lapuk dan berlumut
bau tambang-tambang yang lembab dan usang
bau kerang-kerang busuk dan batu-batu licin
juga
suara-suara debur
pekikan elang dan kepakan sayap menghantam air
bunyi arus yang menderas
kayuhan yang melambat dan teriakan anak nelayan
duduk kita mengayun kaki di ujung dermaga
lalu
bersama kita mewarnai langit barat yang jingga kemayu
menyisir gari-garis laut yang bewarna tembaga
sementara surya melenggang
menghenyak diri di tepi cakrawala
dan kita pun duduk berduan di dermaga teluk ini
ada diam dan kita tetap melebar senyum menyambut senja mengurai di bentang langit
semburat merah perlahan menggelap dan menggerus sinar-sinar sejuk dari langit timur
perahu-perahu bagai mengembar di sisa cahaya yang masih berpendar
ombak menderas dan kudengar napasmu menghela
padamu duhai kesuma dewi
pemandangan ini adalah cahaya susut
pendar-pendar senja yang kikir dan semakin meninggalkan teluk
pudar pula kita yang mengayun kaki dari dermaga
laut kini lukisan yang kelam
tak berwarna dan tak berpendar
sorot langit kentara memburam
dan kudengar kau menghela lagi
tak berirama
kuduga kau merajuk surya hilang di balik karang
diam-diam meredup
kau menghambur angin
dengan hembusan kekecewaan dari mulutmu
menghalau bau amis dan menggelinjang di deru dingin yang mulai bertandang
kau rupa candu
bagai rembang-rembang malam di gugusan bintang di langit utara
menghujam cerutu di bibirmu yang menghitam
berubah ganas bersama angin yang mendarat
kau rupa candu
dan kita meretas jari
bak ilalang di jantung savana
terayun-ayun pula bagai nyiur
di daratan yang melengkung menjauhi samudera
kita tetap adanya diam memandang gusar lukisan hitam di hadapan
buruh telah pulang
punggung-punggung mereka terjerat tangisan anak dan raungan istri
berpeluh di wajah legamnya
sorot mata lelah memandang lembaran tipis di genggamannya
"duhai,
jarang-jarang ku berbicara pada buku-buku tanganku
pula tak pernah menggugat punggungku yang meradang
dahaga, dahaga, dahaga
lelah pula ku diteriaku istri"
matamu kemayu lelah kantuk
cahayanya hilang sejak tadi
tak ada pendar
hanya gelap tak berbayang
kau pula rupa candu
mengerucut bibirmu mengatup cerutu
membumbung kau hembus asap dan bubar di terpa hawamu
dan belum juga kau meracau
sesumbar
kau teluh daratan di racau angin
menggerus garam di hantaman ombak
arus yang ku belai tak jua keluar penyu
duh, malam tak berbintang
dan kau tetap sesumbar
dulu dengar cerita tua tua
mengumbar tentang gadis tanah rencong
yang berkerudung hitam dan berbibir mungil
dia hilang di dermaga ini
bersama kekasih dalam akhir yang hina
meretas perawannya
oleh jejaka biadab bernapsu buas
di subuh yang dingin
di dermaga teluk banda....
Agustus 2 2009
Iqbal Gamala
cahayanya hilang sejak tadi
tak ada pendar
hanya gelap tak berbayang
kau pula rupa candu
mengerucut bibirmu mengatup cerutu
membumbung kau hembus asap dan bubar di terpa hawamu
dan belum juga kau meracau
sesumbar
kau teluh daratan di racau angin
menggerus garam di hantaman ombak
arus yang ku belai tak jua keluar penyu
duh, malam tak berbintang
dan kau tetap sesumbar
dulu dengar cerita tua tua
mengumbar tentang gadis tanah rencong
yang berkerudung hitam dan berbibir mungil
dia hilang di dermaga ini
bersama kekasih dalam akhir yang hina
meretas perawannya
oleh jejaka biadab bernapsu buas
di subuh yang dingin
di dermaga teluk banda....
Agustus 2 2009
Iqbal Gamala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar